MENGENAL DARI DEKAT GUNUNG BUDHEG


Sejak kecil kami diajari mendengarkan dan menjawab seksama panggilan orang tua agar tidak menjadi Joko Budheg. Petuah itu benar adanya diberikan oleh orang tua kepada para anak-anak yang tinggal disekitaran gunung Budheg. Meski agak dibuat terdengar dramatis namun begitulah adanya sebuah pesan yang kami, masyarakat jawa mempercai tuah dari gunung setinggi 630 meter dari permukaan laut itu. 


Terletak didesa Tanggung, kecamatan Campurdarat, kabupaten Tulungagung kini gunung ini telah terkenal dan menjadi salah satu yang tersohor ditanah bumi kopi ijo. Meroket pamornya sejak memasuki tahun 2015, gunung yang awalnya hanya kawasan biasa tersebut, kini telah disulap dan menjadi kawasan yang dipenuhi berbagai bentuk gazebo dan fasilitas lain. Tak main-main memang, gunung yang sejatinya tidak sebegitu tinggi itu tercatat pernah daki oleh berbagai persohor dinegeri ini.

Bicara tentang sejarah, maka tak bias dilepaskan pula tuah kawasan tersebut dengan kehadiran sebuah patung besar berpayung pohonya, batu itu bernama arca Joko Budheg. Sebuah cetakan batu alam yang dalam bisunya tersimpan beberapa cerita sejarah yang jika disimak banyak menuturkan unsur kisah semantik khas jawa, sebuah pesan yang menyiratkan tindak tutur menjadi masyarakat jawa yang ideal.

Mengambil setting dimasa lalu, konon batu yang berpayung pohon besar tersebut merupakan penjilmaan laki-laki bernama Joko Budheg yang mencintai Roro Kembang sore, anak seorang ningrat yang tinggal disekitar kaki gunung Willis. Bekali-kali ditolak cintanya, sang Joko tidak juga dapat melunturkan rasa dihatinya, sampai satu ketika pertemuan denganya membuat jengah sang Roro kembang sore.

Lantaran semata hanya didasari emosi, ia pada akhirnya tidak sengaja memaksa Joko Budheg harus bertapa 40 hari 40 malam agar mau dinikahi. Merasa agak berlebihan, ia pada akhirnya tidak tega pada laki-laki yang meingidolainya itu. Sampai pada sebuah ketinggian tertentu, ia melihat Joko Budheg bertapa dengan mata tertutup dan berpayung ‘cikrak’ (kranjang) untuk menghela panas.

Dengan perasaan tak enak, ia akhirnya membangunkan Joko Budheg yang tidak bergeming meski didalam pertapaanya mendengar suara kaki sang pujaan mendekat. Berkali-kali dipanggil tidak merespon, sang Roro kembang sore pun pada akhirnya kesal hati meski mulanya merasa cemas.


Sekali lagi sang Roro kembang sore melakukan kesalahan yang dimasa depan ia sesalkan lagi. Ia dengan tidak sadar mengutuk sang pemuja hatinya dengan berkata “ku tanyai dan ku panggili lantas kenapa engkau tak bergeming, apa engkau telah menjadi batu?” terkejut seketika saat ia melihat badan sang pujaan tiba-tiba berubah menjadi batu.


Begitulah secuil kisah yang bertutur tentang sejarah gunung Budheg. Sebuah pesan yang mengajari manusia jawa untuk lebih berhati-hati pada kata-kata. Sebuah prasasti pembukti jika pasalnya manusia jawa yang bijak adalah mereka yang tetap teguh pada keyakinanya. Dengan narasi yang sedemikian, tak heran dalam sejarahnya, gunung satu ini tercatat pernah dikunjungi banyak pengunjuk dari kawasan Bali dan sekitarnya. Hal ini tidak heran terjadi, lantaran kawasan wisata itu menyimpan banyak kisah lain yang berkaitanya dengan sejarah agama Hindu, Budha, dan Penghayat Jawa.

Mengunjungi kawasan tersebut, para wisatawan tak perlu membayar terlalu mahal. Hanya menyiapkan Rp. 3000 untuk tiket masuk, dan Rp. 3000 lagi untuk biaya masuk kekawasan tersebut. Cukup murah untuk sebuah perjalanan melintas masa dalam pencarian keluhuran sejarah, sekaligus sebuah potret keindahan alam yang menghijau, membentang diatas gugusan batu batu besar.

Writer: Akbar Dedy Pratama