AGRO WISATA KAMPUNG BLIMBING

Menjadi salah satu projek pilot desa pertanian di kabupaten Tulungagung, kampung di dusun Cluok, desa Moyoketen, kecamatan Boyolangu telah berhasil menyajikan hamparan hijau pohon blimbing disepanjang tanah seluas 10 hektar. Sebuah pemandangan menarik ketika bus-bus besar bergantian silih berlalu menyinggahi kawasan tersebut. Dari yang sekedar turun untuk membeli beberapa keranjang blimbing, jajanan oleh-oleh sampai berkeliling pusat agrowisata Kampung Blimbing, semua wisatawan lakukan dikawasan tersebut. Sebuah pesona yang saat ini dijadikan persinggahan akhir dari mereka yang sedang berlibur jauh-jauh ke kota kami.



Kami temui dirumahnya, Hendrik Setiawan, ketua kelompok sadar wisata (POKDARWIS) Kampung Blimbing mengakui tidak mudah pada awalnya memperkenalkan kawasan wisata tersebut pada khalayak. “Masyarakat pada tahun 1980 mengalami kemerosotan ekonomi dikawasan kami, karena merasa jengah, kami pada akhirnya berupaya untuk melahirkan inovasi untuk meningkatkan hasil ekonomi” jawab Hendrik saat ditanyai tentang alasan pendirian kampung blimbing. Agro wisata yang pada akhirnya resmi berdiri pada tahun 1990 tersebut, mengawali usahanya lewat beberapa kali eksperiment dengan beberapa tanaman buah yang berbeda. Menemukan kemistri dengan buah blimbing, kemudian beberapa kali hasil experiment turut dilombakan dan kemudian memenangkan berbagai tingkatan kejuaraan.

Dengan rentetan prestasi kampung blimbing akhirnya mendapat perhatian pemerintah yang kemudian mendorong program kampung pertanian. Sebuah kisaah perjalanan yang bermuara pada pengakuan kawasan pertanian tersebut, kini menjadi destinasi wisata yang sekaligus sebagai central pusat perbelanjaan UMKM dikabupaten Tulungagung. Ditanyai tentang alasan kenapa pada akhirnya memilih tanaman buah blimbing, Hendrik menjawab jika ternyata setelah ditelisik, blimbing menjadi tanaman yang sanggup menghasilkan buah dalam satu tahun. “Tidak ada musim khusus bagi blimbing untuk menghasilkan buah” tuturnya.


Sempat gagal beberapa kali ber-experiment menggunakan buah lain seperti halnya Nangka dan Rambutan, kini buah blimbing dikawasan tersebut konon memiliki daya tahan yang lebih kuat dibandingkan ditampat lain. Terbukti setelah dipetik, buah blimbing dari kawasan tersebut tercatatan sanggup awet dan tidak layu selama 1 minggu. Bukan rahasia lagi jika proses penggabungan bibit sejak dahulu telah melahirkan kualitas yang bgus dari blimbing didaerah tersebut. Hendrik sendiri dalam hal ini menjadi generasi ke-3 yang mengelola kawasan tersebut, sebagai penjaga siklus pertanian disana, baginya yang terpenting kini adalah meneruskan estafet usaha masyarakat di desa-nya.

Hal tersebut lantaran dari hasil buahnya, selain dapat menyedot lapangan pekerjaan bagi masyarakat disekitar kawasan tersebut, masyarakat desa Moyoketen bahkan hari ini sanggup andil dalam percaturan pasar internasional dari export blimbingnya. Mematok harga murah meriah dari mulai diangka Rp. 9000 per-kilo untuk yang kecil, sampai harga Rp. 10.000 untuk buah belimbing yang berukuran lebih besar. Saat ini mulai dari Korea, Jepang, Malaysia, Amerika, Singapura sampai Taiwan telah masuk dalam daftar Negara yang berlangganan mem-pesan blimbing dari desa tersebut. Sebuah mimpi yang tidak pernah terbersit jika teringat usaha sang kakek (Hendrik) saat merintis masuk dari pasar satu ke pasar lain.

Writer: Akbar Dedy Pratama