NAPAK TILAS JEJAK MAJAPAHIT DI TULUNGAGUNG

Candi Gayatri tempat peletakan abu sang Ratjapani
didesa Boyolangu 
Jika literasi yang ada baca benar, dari sana akan anda temui banyak fakta tentang Tulungagung yang menjadi pusat terlahirnya gagasan-gagasan besar Indonesia. Dari pernah menjadi rumah singgah dan belajar sang ‘Founding father’ Negara, Ir. Soekarno. Sampai menaiki mesin waktu jauh kebelakang, Tulungagung juga menjadi tempat persinggahan bagi tokoh-tokoh besar dari kerajaan-kerajaan besar di masa lalu.

Tanah yang dulu berkontur rawa ini konon dimitoskan winggit (pekat) dan penuh kengerian yang tanahnya terlarang diinjak orang. Lantaran hal tersebut, Gayatri sang permaisyuri yang bergelar Biksuni atau pula brahmani, seorang yang berhak atas tahta Raden Wijaya yang ditinggalkan oleh raja Jayanegara, tewas saat perang oleh Ra Tanca, tapi ia (Gayatri) malah tolak dan memilih bertapa di gua Pasir, sebuah destinasi yang kini menjadi kawasan wisata dan tidak lain berada didesa Junjung, kecamatan Sumbergempol, kabupaten Tulungagung.

Raden Wijaya sendiri adalah merupakan raja pertama yang memimpin kerajaan yang di masa depan, kelak akan menguasai seluruh nusantara dan sebagian besar kawasan Asia tenggara, Majapahit. Gayatri sendiri adalah nenek dari Prabu Hayam Wuruk, seorang raja yang membawa Majapahit kedalam era ke-emasan-nya. Dibantu oleh sang maha patih Gajah Mada, merekalah tokoh yang menyiarkan sumpah palapa-nya ke pelosok nusantara. Gayatri hidup diantara periode tahun 1293 sampai 1309 Massehi.


Terkenal sejak zaman dahulu lantaran banyak ditinggali oleh orang-orang sakti di zaman dahulu, pada pengasinganya, banyak orang yang mempercaya, dalam perjalananya wanita ber-gelar kerajaan Ratjapani itu hendak mendekatkan diri dengan sang kuasa dalam pertapaan, yang sekaligus ia hendak menemui guru spiritual, seorang tokoh sakti yang tinggal di bumi yang saat ini terkenal oleh kopi ijo-nya ini.

Arca sang Gayatri didesa Boyolangu
Dipaparkan oleh Wawan Susetya, budayawan setempat, didalam pertapaan yang sekaligus menjadi peristirahatanya, Gayatri telah menginspirasi berdirinya beberapa komplek besar situs candi di Tulungagung. Diantaranya yang paling besar komplek candi tersebut adalah Candi Gayatri (Boyolangu) dan Candi Sanggrahan (Sanggrahan). Sebuah konstelasi (serangkaian) besar relif sejarah yang melingkari kecamatan Boyolangu, kecamatan yang juga terkenal lantaran menjadi rumah manusia tertua didunia, Homo Wajak Kensis.

“Tulungagung adalah kedung (sebuah penampung) jika konon Blitar adalah Latar (Emperan) sedang Kediri adalah Kali (sungai), yang dimaksudkan Kali adalah aliran air yang menjadi siklus kehidupan, hal tersebut bias dikaitkan dalam bentuk tempanya yang menjadi gerbang masuk sebuah peradaban, maka Tulungagung diumpamakan sebuah sumber yang menjadi wadah segala keilmuan itu bisa diambil semampu sesorang dari luar yang dapat ambil” jelas pria yang akrab disapa Wawan tersebut.

Dari sana telah dapat disimpulkan kenapa pada akhirnya sang “Ratjapani” Gayatri memilih mengasingkan diri ke Tulungagung. Sebuah rumah peristirahatan akhir menjelang perjanan mokhsanya. Kepada para ahli sejarah seorang gaayatri tidak lupa meninggalkan beberapa temuan relif-relif yang menjadi potret perjuanga-nya, sebuah upaya-nya dalam mempersatukan 2 agama, Hindu dan Budha dalam perspektif pluralis dikawasan ini.


Sebuah istilah yang Mpu Tantular pada akhirnya kutip didalam kitab- nya Sotasoma, berbunyi “Bhineka Tunggal Ika” yang menjadi pondasi konsep bernegara bangsa kita sampai hari ini. Jika berkenan untuk diruntut, maka tidak lain ia merupakan wangsit dari “Sanghyang Widhi” kepada Gayatri yang dia peroleh lewat pertapaanya di Tulungagung.

Candi Sanggrahan menjadi komplek pemanjatan doa
terletak didesa Sanggrahan kecamatan Boyolangu
Bicara tentang 2 komplek terbesar candi yang menjadi simbol kemegahan Gayatri dan Majapahit di Tulungagung. Menurut Wawan Susetya, konon Candi Sanggrahan merupakan tempat peribadatan bagi tamu dan para pengikut Majapahit yang menyinggahi desa Sanggrahan. Kemudian disinggung soal relif candi Gayatri didesa Boyolangu, Wawan menjelaskan jika sejatinya kawasan itu merupakan komplek yang menjadi persinggahan abu dari seorang Gayatri.

Gayatri dan pesona-nya, sebuah remang diantara senja yang cahaya-nya mulai meredup dan memadam. Sebuah pesona yang tetap kokoh meski mulai mengusang. Diantara kaki-kaki yang terdengar dari jauh berderap rancak sangat kencang, kemajuan peradaban telah menggeser kemegahan sebuah bangunan tua. Telah lelah peristirahatan terakhirnya membuat orang yang suka kisah terkagum. Eksotisme yang mati perlahan-lahan, ter-kabur dan terlupa bersamaan dengan ambisi orang-orang dalam spirit kemajuan zaman.


 Writer: Akbar Dedy Pratama