COBAN KROMO DENGAN RITUAL BERNAMA MANTEN KUCING




Ritual Manten Kucing atau menikahkan dua kucing
Agaknya orang-orang masih asing ketika mendengar tradisi Manten Kucing ketika belum pernah berkunjung ke Tulungagung. Ritual rutin yang digelar setiap kemarau panjang tersebut sejatinya memang hanya ada di kota marmer, tepatnya didesa Pelem, kecamatan Campur darat, kabupaten Tulungagung. Ritual daerah yang masuk dalam serangkaian potensi wisata budaya kawasan Coban Kromo, sejatinya memanglah kearifan lokal khas desa Pelem yang digelar untuk meminta Tuhan lekas menurunkan hujan.

Manten Kucing merupakan ritual menikahkan sepasang kucing Candramuka (Berwarna kuning emas) dengan sebelumnya dimandikan pada kawasan Coban kromo. Seperti halnya manusia yang menikah, kucing-kucing tersebut di Ijab Khobulkan pada mimbar yang dibuat oleh masyarakat sekitar. Terdengar tidak lazim memang ditelinga, hal itu lataran keunikan Manten Kucing sejatinya hanya di kota marmer adanya. Tradisi tersebut eksis digelar dari ratusan tahun lalu hingga kini, tentunya digelar hanya kala pademik kemarau berkepenjangan menerjang desa saja.

Bagai gayung bersambut, semangat warga sekitar nguri-uri tradisi tinggalan nenek moyang itu disambut hangat animo masyarakat luar. Tak pernah sepi pengunjung tentunya, selalu padat merayap dengan kehadiran para pengunjung, memenuhi jalanan desa Pelem di setiap pagelaran ritual tradisional itu digelar. Tidak jarang bahkan, sejumlah pengunjung rela datang jauh dari luar kota, tentunya hanya sekedar ingin tahu lebih dekat tradisi khas kawasan penghasil krupuk Gadung juga tersebut.

Dalam pelaksanaan ritual Manten Kucing, sebelum kucing-kucing dimandikan dan dinikah pada komplek wisata air terjun Coban Kromo, kucing-kucing akan diarak dari balai desa untuk menuju kawasan wisata tersebut. Sepasang kucing akan dikurungi dan dibawa oleh sepasang pemuda dari desa, dibelakang para pembawa kucing, arak-arakan akan diikuti para pemuka desa serta tamu-tamu penting, berjalan seiring serta, dompyok-dompyok selaras melewati rute jalanan desa menuju komplek Coban Kromo. Semakin spesial ketika para peserta arak-arakan tersebut akan berpakaian lengkap serta dengan ornament khas adat Jawa.

Semakin semaraklah kehadiran arak-arakan yang menumpahi jalanan tersebut, ramai memecah dengan bertambah hangat menyapa kehadiran atraksi berbagai kesenian lokal dibarisan paling belakang. Tidak hanya satu, berbagai suguhan atraksi lokal. Dari berbagai jenis tari-tarian khas kota marmer, Tulungagung, sampai turut juga menyelip kedalam barisan, atraksi-atraksi para pemusik daerah dibarisan arak-arak, tentunya untuk  membuat acara lebih menarik dan tidak terasa hambar.

Ditemui untuk digali lebih dalam tentang sejarah dibalik kemagisan tradisi Manten Kucing, Daud Suladji, atau akrabnya disapa Daud, mengakui jika hingar bingar manten kucing di Tulungagung tidak muncul begitu saja dari ide masyarakat sekitar. “Manten Kucing sejatinya adalah bentuk sikap keperihatinan seorang pemuka desa dimasanya yang bernama Eyang Sankrah” tutur Daud.

Eyang Konon adalah orang sakti yang disatu waktu saat desa Pelem mengalami pancaroba, kekeringan parah yang mengeringkan ladang sawah petani, ia yang memanjatkan doa dengan kemudian memandikan kucing-kucingnya di kawasan Coban Kromo” jelas Daud. Tak lama setelah doa itu dipanjatkan, konon hujan tiba-tiba turun dan membasahi ladang warga. Setelah itu, bersuka-citalah menyambut hadirnya tiap tetesan hujan, sampai-sampai momen itu dikenang tambahnya (Daud). Lewat kejadian magis tersebut, oleh masyarakat kemudian saat musim kemarau panjang menjelang, tradisi Manten Kucing dijadikan ritual andalan dalam memanjatkan doa untuk memanggil hujan.

Alih-alih dianggap sebuah ritual kepercayaan yang menyesatkan, Eyang Sankrah pun turut berpesan pada anak cucunya jika ritual Manten Kucing adalah sebuah ajang mendekatkan diri pada sang kuasa. “Selain dengan maksud untuk meminta hujan, Manten Kucing pun pada akhirnya digelar sebagai penyambung tali silaturahmi mendoakan keselamatan nenek moyang di alam sana, bukan kegiatan yang kaitanya dengan sesuatu yang menyesatkan” tegas Daud.


Tentunya selain menjadi salah satu potong puzzle sejarah penting milik kota marmer, Tulungagung, Coban Kromo dengan Manten Kucingnya adalah gelindingan cerita historis sejarah yang berputar ratusan tahun bukan tanpa alasan. Tumbuh dalam lingkar masyarakat, ia (Manten Kucing) adalah baterai semangat hati mereka (masyarakat sekitar) yang menggelora, Manten Kucing terus ada karena sejatinya merupakan fitroh dari identitas menjadi manusia Pelem. 
Writer Akbar Dedy Pratama 
Foto By: Muhamad Reyhan Florian 

More Source: http://budis1boy.blogspot.com/2010/10/upacara-adat-temanten-kucing.html